satu lagi novel religi buat teman berinspirasi... hehe...
Judul : Negeri 5 Menara
Penulis : A.Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tanggal Terbit : Agustus 2009
Tebal : 432 hal.
Harga : ±Rp 50.000,-
Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur, dan mandi di air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di Ponorogo, Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau alif kecil ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati Alif mengikuti perintah ibunya : “belajar di pondok”.
Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti Man Jadda Wa Jada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dia terheran-heran mendengar komentator sepak bola berbahasa Arab dan teman-teman yang mengigau dalam bahasa Inggris maupun Arab. Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Keenamnya kemudian dijuluki Sahibul Menara (Orang yang memiliki menara) karena kebiasaan mereka yang sering berkumpul di bawah menara masjid sembari menunggu azan maghrib, di sanalah mereka berbagi mimpi dan harapan.
Fuadi, sang pengarang novel ini berhasil menggambarkan seluk-beluk dunia pesantren modern dengan detail. Tidaklah mengherankan karena memang novel ini terinspirasi dari kisah pribadi sang pengarang semasa “mondok” di pesantren (Gontor, Ponorogo). Pahit, getir, riang serta gembira kaum santri dengan humor khas pesantren.ditandaskan dengan pengisahan yang menakjubkan. Lihatlah pelbagai alasan yang sengaja dirancang para Sahibul-Menara agar mereka mendapat izin keluar PM, bersepeda mengelilingi kota Ponorogo, dan tak lupa melintas dipintu gerbang pesantren putri, sekedar 7untuk “nampang”. Tengok pula ketika Said, Sahibul menara yang paling tua memotivasi teman-temannya. ”Saajtahidu fauqa mustawal al-akhar, aku akan berjuang di atas rata-rata yang dilakukan orang lain. Yang membedakan orang sukses dan tidak adalah usaha. Perbedaan antara juara satu lari 100 meter dunia hanya 0,00 detik. Jarak juara renang dengan saingannya mungkin hanya satu ruas jari. Jadi, untuk menjad juara dan sukses, kita hanya butuh usaha sedikit lebih besar dari orang kebanyakan.”
Lanjutan kisah N5M bisa ditebak. Sahibul menara akhirnya dapat mencapai impian mereka. Baso yang tidak menyelesaikan sekolah di PM karena harus merawat neneknya yang sakit, bisa kuliah di Mekkah dengan bekal hafalan seluruh isi Al Quran. Atang menjadi mahasiswa program doktoral di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Raja menetap di London setelah sebelumnya menyelesaikan kuliah hukum Islam di Madinah. Sedangkan Alif, yang merupakan representasi sang penulis, berkesempatan melanjutkan studi di Washington DC. Bagaimana dengan Said dan Dulmajid? Dua sahibul menara itu juga mendapatkan impiannya: pulang ke kampung halaman dan memajukan pendidikan di sana.
Jika ditilik dari tema, alur, dan struktur cerita novel ini mirip sekali dengan tetralogi Laskar Pelangi, sampai disebut-sebut ‘mencontek’ karya Andrea Hirata. Bukan hanya laskar pelangi, tapi sekaligus sang pemimpi dan edensor karya sang masterpiece. Agaknya memang bukan Ending para tokoh yang membuat N5M menarik dibaca. Akan tetapi proses, perjuangan, dan ikhtiar dalam mewujudkan impian yang terasa mustahil saat dibayangkan menjadi kisah yang sayang untuk dilewatkan. Dengan latar belakang pendidikan islam, karya ini terasa istimewa di tengah menjamurnya sastra islami kita yang notabene berlabel “cinta-cintaan”. Apalagi pembaca juga disuguhi kutipan-kutipan penih motivasi di setiap babnya. Yang pasti, novel ini mengajarkan banyak hal pada kita dalam menghargai kehidupan serta mimpi. “Jangan pernah remehkan impian walau setinggi apa pun. Karena Allah sungguh Maha Mendengar.” Selamat bermimpi. MAN JADDA WA JADA.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Saya dah baca novel ini. Mengharukan memang. Apalagi saya juga pernah mengecap pendidikan sebagaimana Bang Fuadi rasakan di novel ini. Dan hal itu memang nyata, benar-benar ada!
BalasHapusSatu hal yang perlu diingat. Pengalaman yang dirasakan oleh Bang Fuadi akan dirasakan pula oleh beribu-ribu orang lainnya yang mengecap pendidikan di Gontor. Karena memang di sana pendidikan karakter istiqomah dijalankan semenjak berdirinya.
Btw, salam kenal dari blogger asal Tasikmalaya!!
sipp...
BalasHapusmakasi udah mampir.. ^^